Politik ekonomi Presiden Joko Widodo bisa menjadi
bumerang yang meruntuhkan pemerintahannya jika daya tahan rakyat tak
mampu lagi memberi toleransi. Apalagi, beberapa indikator ekonomi
memperlihatkan rendahnya kompetensi dan kapabilitas Kabinet Kerja
mengaktualisasi dan mengamankan politik ekonomi sang presiden.
Ketika berbicara dalam acara Silaturahmi Pers Nasional di Auditorium
TVRI, Jakarta, April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah
memaparkan garis besar dari politik ekonomi pemerintahannya. Dia
menegaskan, setiap perubahan besar dalam membangun bangsa memang
menyakitkan, bahkan seperti menelan pil pahit. Namun hal ini harus
dilakukannya walaupun popularitasnya anjlok.
Sebab, dia ingin mewujudkan Indonesia menjadi negara yang sejahtera,
besar, dan bermartabat. Perubahan besar itu diawali dengan kebijakan
pemerintahannya menghapus dan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak
(BBM) Rp 300 triliun per tahun ke sektor produktif pada November 2014.
“Disain kebijakan kita awalnya memang menyakitkan. Tapi, lihat
tiga-lima tahun ke depan,” tegas Jokowi. Presiden yakin, ketika saat itu
tiba, rakyat akan merasakan manfaat dari kebijakan pemerintahannya.
Sebab, perekonomian nasional akan lebih kokoh dan kondisi bangsa lebih
baik.
Politik ekonomi seperti itu adalah sebuah pertaruhan besar. Sangat
jelas bahwa presiden mengajak dan sekaligus sedang menguji daya tahan
rakyat untuk melalui masa-masa sulit akibat kebijakan pemerintahannya.
Pertanyaannya adalah sudahkah Presiden mengukur daya tahan rakyat?
Pil pahit atau masa sulit itu kini sedang berproses menuju puncaknya,
yakni krisis ekonomi. Benih krisis itu mulai terlihat dan bisa
dirasakan langsung oleh hampir semua elemen masyarakat; ibu rumah
tangga, pengusaha kecil maupun para manajer serta para bos besar dari
perusahaan-perusahaan terkemuka. Beberapa indikator sektoral
menggambarkan tren negatif perekonomian nasional.
Indikator yang dipaparkan beberapa asosiasi bisnis memang tidak enak
didengar. Industri otomotif sudah mengalami kemerosotan penjualan sampai
20 persen. Penurunan omzet bisnis sektor perhotelan mencapai 40 persen.
Industri makanan-minuman merosot 10 persen. Sementara kelesuan industri
tekstil dan produk tekstil (TPT) digambarkan sangat parah.
Kelesuan di sektor swasta berdampak negatif pada target perolehan
pajak tahun ini. Jika dikaitkan lagi dengan gejala menurunnya konsumsi
dalam negeri, hampir bisa dipastikan bahwa target penerimaan pajak tahun
2015 tidak akan tercapai. Kemungkinan lain yang sulit dihindari adalah
langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kelesuan di sektor swasta.
Gambaran kelesuan tak hanya terlihat pada sektor swasta. Kinerja
pemerintah pun terbilang buruk. Hingga pekan pertama Juni 2015,
penyerapan anggaran diperkirakan baru mencapai 18 persen. Penyerapan
anggaran sebesar itu bisa memberi gambaran tentang lambannya realisasi
banyak proyek sepanjang sisa tahun ini. Alih-alih terealisasi, bahkan
akan banyak proyek ditunda atau dibatalkan.
Konsekuensinya tentu pada target pertumbuhan ekonomi. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu adalah motor pembangunan dan
pertumbuhan. Kalau pengelolaan APBN tidak efektif seperti sekarang, akan
muncul tafsir bahwa mesin pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sedang
rusak parah. Dari tafsir seperti itu, lahir pesimisme. Dan, pesimisme
akan mendorong modal keluar dari negara ini, karena pemodal tak mau
ambil risiko.
Masih ada berita buruk lainnya bagi Presiden Jokowi dan
pemerintahannya. Sejak awal Juni 2015, harga aneka komoditi kebutuhan
pokok mulai naik. Momentum jelang Bulan Suci Ramadhan selepas paruh
pertama Juni 2015 menjadi sentimen pemicu kenaikan harga kebutuhan
pokok.
Pada tahap inilah Presiden perlu memperhitungkan daya tahan rakyat
menghadapi masa-masa sulit akibat kebijakan dari politik ekonominya.
Dengan daya beli yang terus merosot akibat tidak adanya kenaikan upah,
daya tahan itu bisa goyah. Apalagi jika masih harus menanggung beban
lonjakan harga jelang bulan Ramadhan hingga lebaran tahun ini.
Jebakan
Kenaikan harga saat ini bisa dikendalikan jika Presiden mau belajar
dari pengalaman. Kenaikan harga jelang Ramadhan adalah gejala yang
berulang. Kalau pemerintah belajar dari pengalaman, mestinya sudah
diterapkan langkah-langkah antisipatif untuk mencegah kenaikan harga
itu.
Presiden Jokowi baru-baru ini memastikan bahwa stok pangan selama
Bulan Suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri aman dengan harga yang
stabil. “Saya ingin memastikan bahwa stok dan stabilitas harga pangan
aman menjelang bulan puasa dan Lebaran.,” kata Jokowi.
Akan tetapi, dengan fakta bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok sudah
terjadi, para menteri ekonomi di Kabinet Kerja tampak tidak kompeten,
dan juga tidak kapabel. Kalau mengendalikan harga kebutuhan pokok saja
tidak mampu, kemampuan para menteri patut pula diragukan dalam mengawal
dan mengamankan politik ekonomi Presiden Jokowi . Kenaikan harga
kebutuhan pokok saat ini bukan lagi pahit, tetapi terlalu pahit bagi
rakyat kebanyakan.
Presiden Jokowi boleh saja mencanangkan perubahan besar bagi masa
depan pembangunan bangsa. Semangat dan kemauan keras Presiden patut
diapresiasi serta didukung. Tetapi, pengabdian dari kepemimpinan
Presiden Jokowi tidak boleh semata-mata terfokus pada perubahan besar
yang ingin diwujudkannya.
Sebesar apapun ambisi Presiden, dia harus tetap peduli pada kebutuhan
dasar rakyat; pangan, sandang dan papan. Siapa pun presidennya, setiap
pemerintahan harus melayani dan menyediakan pangan murah, sandang
murah, dan papan murah. Itulah kebutuhan dasar rakyat yang tak pernah
boleh ditawar-tawar.
Pangan murah atau terjangkau harganya menjadi faktor kunci bagi
terwujudnya stabilitas nasional dan ketertiban umum. Dengan politik
pangan murah itulah Orde Baru bisa menjaga stabilitas nasional dalam
rentang waktu puluhan tahun. Presiden Jokowi sebaiknya fokus dan memberi
perhatian ekstra pada masalah ini.
Sekarang ini, Pemerintahan Presiden Jokowi sudah memasuki bulan
kedelapan. Alih-alih memberi rasa nyaman, Pemerintahan Jokowi justru
sedang mengakumulasi masalah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Pada level akar rumput, setiap orang mungkin hanya menggerutu karena
mahalnya harga kebutuhan pokok. Tetapi pada level menengah dan atas,
mereka sudah menggunjingkan benih-benih krisis ekonomi dengan mengacu
pada beberapa indikator tersebut. Belum lagi jika dimasukan faktor
semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Banyak kalangan bahkan mulai mengkalkulasi resep apa yang akan
digunakan Presiden Jokowi untuk mengakselerasi pembangunan nasional
sepanjang enam bulan ke depan. Pemerintah pernah menjanjikan pemberian
stimulus ekonomi untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Sayangnya,
stimulus itu masih berstatus janji yang tak diketahui kapan akan
dipenuhi.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi dan para
menteri sedang menghadapi perjudian besar yang cukup berbahaya. Dengan
harga kebutuhan pokok yang semakin mahal, beban rakyat jelas menjadi
sangat berat. Rakyat mungkin tidak mampu lagi untuk memenuhi ajakan
Presiden melalui masa-masa sulit sekarang ini. Maka, patut bagi Presiden
memperhitungkan manakala daya tahan rakyat tak mampu lagi memberi
toleransi.
Perjudian berikutnya adalah pengelolaan APBN 2015. Kalau penyerapan
anggaran hingga akhir tahun jauh dari persentase yang ideal, Presiden
Jokowi dan Kabinet Kerja akan dinilai tidak kompeten dan tidak kapabel.
Alih-alih optimisme, pemerintahan ini hanya memunculkan pesimisme.
Semua selalu berharap keadaan bisa bertambah baik dari hari ke hari.
Namun, hari-hari ini, keprihatinan dan kecemasan tak bisa lagi
ditutup-tutupi, karena politik ekonomi Presiden Jokowi justru
menciptakan jebakan yang cenderung membahayakan eksistensi
pemerintahannya. Dan disadari atau tidak, Jokowi tampaknya tengah
berjudi dengan nasib rakyatnya sendiri.
Penulis: Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota
Komisi III DPR RI dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia.(rz/pribuminews)