Blogroll

» Suara muslimin bersatu. Menyampaikan kebenaran dengan berterus terang, tiada hari tanpa tholabulillmi mengkaji mengaji mencari ridhlo illahi rabbi, Di Pancarluaskan di jalan Tanjung Mulang No 26 Setiaratu Cibeureum Kota Tasikmalaya «

Minggu, 24 Januari 2016

Mengenang Abu Sayyaf Al Indunisiy, Syuhada Komandan Kompi Pasukan Daulah Islamiyyah Asal Nusantara

 
SuaraMimbarMedia.com - Pemuda yang tak banyak bicara, namun sekali terucap beberapa patah kata dari lisannya, selalu didengar oleh orang-orang disekitarnya. 
Adalah Abu Sayyaf al Indunisiy -taqobbalahullah-, pemuda asal daratan Nusantara yang mengomandoi satu Kompi pasukan Daulah Islamiyyah di bumi Syam, atau empat regu Junud Khilafah berjumlah 53 personel Mujahidin.
Tinta emas sejarah Jihad Global telah mencatatnya sebagai salah satu diantara kaum Muslimin Indonesia yang menjadi generasi pertama orang yang berhijrah dan berjihad di bumi Syam untuk membela kehormatan kaum muslimin.
Dan ia telah membuktikan niatnya secara jujur untuk berjihad dengan gugur syahid di belahan bumi yang sama dalam keadaan sabar dan tsabat, menapaki suka cita dan pahit getirnya perjuangan meninggikan kalimat Allah.
“Tinggalkan kelemahan berupa perpecahan jama’ah-jama’ah, karena kini kita kuat bersatu di bawah naungan Khilafah.” [Abu Sayyaf al Indunisiy]
Di usianya yang masih muda, ia tinggalkan bangku sekolahnya yang cemerlang di luar negeri untuk hidup memburu kemuliaan akhirat di parit-parit Jihad yang berdebu.
Abu Sayyaf juga pernah menghadapi fase-fase pertama serangan pengkhianatan Shohawat Syam terhadap Daulah Islamiyyah yang berkecamuk di Idlib, di awal Januari 2013.
Sebagaimana halnya dengan Abu Muhammad al Indunisiy -taqobbalahullah- yang memburu kesyahidan di bumi para anak dan cucu Sholahuddin, Iraq. Abu Sayyaf ditangkap dan ditawan oleh Shohawat, dan diancam untuk dibunuh atau dikembalikan pulang menuju negeri asalnya.
Atas keutamaan dari Allah, ia ditolong oleh para ikhwah Anshor, meloloskan diri dari penjara para pengkhianat, di tengah rentetan tembakan.
Semenjak saat itu, karir Jihadnya terus melonjak. Ia terlibat dalam berbagai operasi futuhat penting Daulah Islamiyyah di wilayah Syam.
Abu Sayyaf -taqobbalahullah-, tengah memberikan arahan bagi dua ketua regu Mujahidin yang dipimpinnya dalam operasi pertempuran di Tal Ruman, pinggiran Tal Tamr, wilayah al Barakah
Di tengah aktivitas jihadnya, tenaga dan pikirannya juga dikerahkan untuk mencari cara bagaimana menolong kaum muslimin di Asia Tenggara, utamanya Rohingya.
Keseriusan tekadnya itu ia buktikan, dimana Daulah Islamiyyah memilihnya sebagai satu diantara segelintir ikhwah yang disekolahkan di Akademi Militer Khusus, madrasah bagi calon-calon pemimpin Jihad di masa depan.
Ia kemudian diamanahi untuk mengetuai 53 personel Junud Daulah Islamiyyah asal Indonesia dan Malaysia. Di bawah komandonya, ia memimpin dua operasi militer besar membebaskan sejumlah kawasan di sepanjang tepi sungai Khobuur, Tal Tamr dari pasukan Komunis PKK.
Abu Sayyaf -taqobbalahullah- di tepi sungai Khobuur, dan ladang bunga Tal Ruman, pinggiran Tal Tamr, wilayah al Barakah
Abu Sayyaf al Indunisiy menutup perjalanan panjang jihadnya di bumi Syam dengan akhir yang indah, gugur syahid ketika melawan berhala Hubbal abad ini, yakni Salibis Amerika.
“Aku bermimpi melihat suamiku, Abu Hudzaifah yang baru saja syahid, memakai pakaian asykari (militer) lengkap. Ia tengah bercengkrama dan bercanda ria dengan Abu Sayyaf yang lebih dahulu syahid, memakai baju gamis putih yang bagus sekali.
Saat masih hidup, keduanya memang sahabat karib dari ketika masih di Indonesia. Bahkan setelah keduanya gugur, aku masih merasakan nuansa yang sama.” [Kesaksian Ummu Hudzaifah]
Pesawat-pesawat koalisi menghujamkan bom ketika ia tengah maju dengan gagah berani, untuk menolong sebagian pasukannya yang terluka di front pertempuran dekat Jabal Khilafah, atau yang dulunya bernama Gunung Abdul Aziz, wilayah al Barakah.
“Ana tidak bisa meninggalkan ikhwan-ikhwan yang berjatuhan akibat serangan bombardir disana,” demikian kata-kata terakhir yang diucapkannya, sembari menahan perihnya luka terkena sabetan pecahan bom Salibis.
Kepergiannya meninggalkan banyak kenangan pun pelajaran hidup yang berharga bagi orang-orang di sekelilingnya. Sosok pemimpin yang penuh kewibawaan, yang disegani dan disayangi oleh banyak ikhwah Mujahidin. [AW/Azzam Media]

sumber: panjimas.com

Minggu, 17 Januari 2016

Nasyid : Sudah Sunnah Orang Berjuang


*
Sudah sunah orang berjuang
Mengembara dan berkelana
Miskin dan papa jadi tradisi
Berenggang dengan anak dan isteri

kembali *
Biasanya para pejuang
rumah mereka merata-rata
Rezekinya tidak menentu
tidur baringnya tak berwaktu

Orang lain buat harta
tapi dia membuangnya
Orang lain kawan terbatas
tapi pejuang kawan merata;
Orang lain musuhnya kurang
pejuang musuh tidak terbilang

kembali *
Tidak kurang yang sayang padanya
Orang lain mati dilupa
Para pejuang tetap dikenang
Sejarahnya ditulis orang
Makamnya sentiasa diziarai
Walau perjuangan tak berjaya

Minggu, 10 Januari 2016

Pemimpin Negara Harus Merasakan Penderitaan Rakyatnya


Khalifah Umar ra tidak mengambil harta umat (baitul mal) kecuali sekedarnya. Kata Umar : “Aku tidak mendapati harta ini kecuali dalam tiga hal: mengambilnya secara benar, menggunakannya dengan benar dan mencegahnya dari kebatilan. Sesungguhnya aku dan hartamu seperti harta anak yatim: Apabila aku kaya, maka aku akan menjaganya dan apabila aku kekurangan aku mengambilnya dengan makruf.”
 
Sayidina Umar menggunakan harta baitul mal sesuai dengan kondisi rakyatnya. Bila rakyat dalam kondisi berkecukupan, ia dan keluarganya menggunakan harta seperlunya. Bila rakyat dalam kondisi susah, Umar akan memberlakukan diri dan keluarganya lebih susah lagi. Sehingga suatu saat anaknya Hafsah protes kepada Sayidina Umar tentang makanan di keluarga yang tidak enak. Padahal Umar berhak untuk mengambil makanan itu dari Baitul Mal. Tapi Umar tidak melakukannya. Dalam kondisi negara susah, Umar juga pernah hanya makan roti dengan dicelupkan minyak zaitun saja.

 
“Di kalangan bangsa Arab, orang yang tidak terbiasa makan begitu akan muntah,” terang Ustadz Abdurrahman Al Baghdadi dalam kajian tentang Ensiklopedi Fiqh Umar di Jakarta, Rabu (12/11/2014).

 
Maka pernah suatu ketika tamu datang menyuguhi Umar dengan makanan-makanan yang enak, tapi Umar tidak mau memakannya, karena mengingat rakyatnya dalam kondisi susah. Khalifah mulia ini ingin rakyat merasakan makanan yang sama seperti dirinya. 

 
Karena kesederhanaan dan kejujuran Umar terhadap harta rakyatnya, hingga prajurit Umar pun meniru sikap Umar ini. Hingga ketika pasukan yang dikirim Umar menaklukkan Raja Kisra (Persia), para prajurit ini membawa semua rampasan perang kepada pemimpin negara (Umar). Akhirnya Umar teringat kepada janji Rasulullah kepada sahabat Suraqah bahwa suatu saat pasukan Islam akan menaklukkan Kisra. Umar kemudian memanggil Suraqah dan menyatakan kebenaran janji Rasulullah itu dan sekaligus menyerahkan gelang dan mahkota Raja Kisra kepada Suraqah sebagaimana yang dijanjikan kepada sahabat itu.

 
Begitu hati-hatinya Umar terhadap Baitul Mal, sehingga ia tidak mau meminjam uang Baitul Mal. Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal mengisahkan bahwa suatu saat Umar bin Khattab meminjam uang 400 dirham kepada Abdurrahman bin Auf.  Sahabat ini heran dan kemudian bertanya kepada Umar:”Engkau mau pinjam uang kepadaku padahal di sisimu ada Baitul Mal? Engkau kan bisa meminjamnya dan kemudian nanti mengembalikannya?” Jawab Umar ra: “Aku khawatir musibah menimpaku. Sehingga kamu dan sahabat-sahabat berkata apa yang ditinggalkan Amirul Mukminin? Dan ditimpakan pula mizan di hari akhir. Tetapi aku pinjam kepadamu karena kamu ‘kikir’ dan apabila aku meninggal dunia kamu dapat mendatangi ahli warisku untuk menagihnya.”

 
Meskipun keluarga atau saudaranya ingin meminta uang negara (baitul mal), Umar tidak akan memberikannya, apabila tidak sesuai dengan haknya. Hingga suatu kali pernah saudara iparnya mendatanginya ingin minta harta baitul mal. Umar kemudian bertanya kepadanya: “Kenapa kamu minta harta Allah (Baitul Mal)? Apa yang harus aku ucapkan di hadapan Allah bila aku disebut penguasa yang khianat? Kenapa kamu nggak minta harta pribadiku dan aku akan memberimu harta yang banya.” 

 
Jadi di sini, menurut Ustadz Abdurrahman, Umar memisahkan harta pribadi dengan harta Baitul Mal. Untuk harta negara, maka Umar akan sangat berhati-hati. Sedangkan untuk harta pribadi yang dimilikinya Umar akan menyedekahkan hartanya kapan saja ia mau. 

 
[Nuim Hidayat]

Tiga Panglima Syahid di Perang Mu'tah

Tugu peringatan Perang Mutah di Jordan

Peperangan ini terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke-18 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.

Pemicu peperangan ini adalah terbunuhnya Al Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah Saw kepada Raja Bashra. Tiga ribu orang tentara berkumpul usai Rasulullah Saw menyerukan supaya kaum muslimin agar berangkat menuju Syam.

Rasulullah Saw sendiri tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian, perang ini bukan ghazwah, melainkan sariyah. Namun demikian, hampir semua ulama sirah menamakannya ghazwah karena banyaknya jumlah kaum Muslimin yang berangkat dan arti penting yang dikandungnya.

Sebelum berangkat, Rasulullah Saw berpesan kepada mereka, “Yang bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya.” Selanjutnya, Nabi Saw mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya disana, mereka menyerang dengan meminta pertolongan kepada Allah.

Setelah kaum Muslimin bergerak meningalkan Madinah, musuh pun mendengar keberangkatan mereka. Mereka kemudian mempersiapkan pasukan yang jauh lebih besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Heraklius mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara Romawi, sedangkan Syurahbil bin Amr mengerahkan seratus tentara yang terdiri atas kabilah Lakham, Judzan, Qain, dan Bahra’.

Mendengar berita ini, kaum Muslimin kemudian berhenti selama dua malam di daerah Mu’an guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang di antaranya berpendapat, “Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Saw guna melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahan sesuatu yang harus kita lakukan.” Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Ia bahkan mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api:

“Hai saudara-saudara, mengapa kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itulah, marilah kita maju! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebajikan: menang atu mati syahid.”

Lalu pasukan kedua belah pihak bertemu di Kirk. Dari segi jumlah personil dan senjata, kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum Muslimin. Zaid bin Haritsah bersama kaum Muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur di ujung tombak musuh. Ja’far kemudian mengambil alih panji peperangan dan maju menerjang musuh dengan berani. Di tengah sengitnya pertempuran, ia turun dari kudanya lalu membunuh, melesat, menerjang pasukan Romawi seraya bersyair,

“Alangkah dekatnya surga!
Harumnya semerbak dan segarnya minuman.
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi
Yang kafir nun jauh nasabnya
Pastilah aku yang memeranginya.”


Ia terus maju bertempur sampai tertebas oleh pedang orang Romawi yang memotong tubuhnya menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan. Semuanya di bagian depan. Panji peperangan kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia maju memimpin pertempuran seraya bermadah,

“Wahai jiwa, engkau harus terjun
Dengan suka atau terpaksa.
Musuh-musuh telah maju ke medan laga.
Tidakkah engkau rindukan surga.
Telah lama engkau hidup tenang
Engkau hanya setetes air yang hina.”

Ia terus maju bertempur sampai gugur menjadi syahid. Kaum Muslimin kemudian menyepakati Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Ia kemudian menggempur musuh hingga berhasil memukul mundur. Pada saat itulah, Khalid mengambil langkah strategi menarik tentaranya ke Madinah.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin mendengar berita gugurnya tiga orang panglima perang mereka, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya  Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada mereka. Beliau kemudian bersabda, “Zaid memegang panji, kemudian gugur. Panji itu diambil oleh Ja’far dan ia pun gugur. Panji itu diambil oleh Ibnu Rawahah dan ia pun gugur...” Saat itu, beliau meneteskan air mata seraya melanjutkan sabdanya, “... Akhirnya panji itu diambil oleh ‘Pedang Allah’ (Khalid bin Walid) dan akhirnya Allah mengaruniakan kemenangan kepada mereka (kaum Muslimin).”

Menjelang masuk kota Madinah, pasukan kaum Muslimin disambut oleh Rasulullah saw dan anak-anak yang berhamburan menjemput mereka. Rasulullah saw bersabda, “Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikanlah kepadaku anak Ja’far!” Kemudian dibawalah Abdullah bin Ja’far dan digendong oleh Nabi Saw.

Orang-orang meneriaki pasukan dengan ucapan, “Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari dari jalan Allah.” Akan tetapi, Rasulullah saw membantah mereka dengan bersabda, “Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mundur untuk menyerang balik, insya Allah.” Wallahu a’lam.

[shodiq ramadhan]